ASN Narsistik (Ketika Jabatan dan APBD Menjadi Alat Branding Politik Pribadi)

Opini40 Dilihat

Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan ujung tombak pelayanan publik dan pelaksana kebijakan pemerintah. Peran ASN sangat vital dalam roda pemerintahan untuk itu ASN dituntut loyalitas. Idealnya, ASN menjunjung tinggi netralitas, integritas, dan loyalitas terhadap negara, bukan terhadap individu atau kepentingan politik tertentu. Namun dalam praktiknya, tidak jarang kita temui fenomena yang semakin mengkhawatirkan dengan istilah ASN narsistik.

Apa itu ASN narsistik? Secara umum istilah tersebut, merujuk pada oknum ASN yang memanfaatkan jabatan, fasilitas negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membangun citra pribadi demi kepentingan politik, terutama menjelang kontestasi elektoral. Mereka melakukan strategi pencitraan secara sistematis dan terstruktur bahkan jauh sebelum masa kampanye resmi dimulai dan fenomena ini,  tidak hanya jelas-jelas mencederai etika publik, tetapi juga melanggar berbagai regulasi yang mengatur netralitas dan profesionalisme ASN.

Dalam beberapa tahun terakhir seiringnya perkembangan teknologi informasi, masyarakat kerap kali disuguhi sebuah konten, poster, atau baliho, yang kerap kali berseliweran (viral) di media sosial berisi foto ASN dengan jabatan posisi strategis baik sebagai kepala dinas, sekretaris daerah, atau bahkan  kepala daerah itu sendiri. Mereka muncul dengan tagline bombastis, gaya kepemimpinan karismatik, dan narasi pembangunan yang dikemas layaknya seseorang melihat dunia melalui mata rakyatnya. Namun , metode ini, terdapat penyimpangan secara halus namun terang-terangan dalam membangun popularitas pribadi menggunakan fasilitas negara.

Tak hanya itu, ASN narsistik juga seringkali  memanfaatkan kegiatan-kegiatan kedinasan yang sejatinya untuk kepentingan dan pelayanan masyarakat namun, dikemas sedemikian rupa agar terkesan sebagai prestasi pribadi. Sebagai  contoh, program bantuan sosial yang disalurkan dengan label “dari Bapak X”, padahal dibiayai sepenuhnya oleh APBD. Bahkan, aktivitas rutin seperti peresmian gedung sekolah atau pemberian sembako dipublikasi berlebihan di media massa dan media sosial pribadi ASN tersebut.

Fenomena ini diperparah dengan pemanfaatan buzzer lokal dan tim media pribadi yang bekerja mengemas citra sang ASN sebagai figur pemimpin masa depan. Di baliknya, terdapat anggaran komunikasi publik dari APBD yang seharusnya digunakan untuk penyampaian informasi pelayanan publik, bukan kepentingan politik individu. Fenomena ini bukan hanya sekadar soal estetika politik, tetapi menyangkut pelanggaran serius terhadap etika dan regulasi yang mengatur ASN. Ada sejumlah aturan yang jelas dilanggar dalam praktik ini:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN

Pasal 2 huruf f UU ASN menegaskan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netralitas. ASN wajib bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Ketika seorang ASN memanfaatkan jabatannya untuk membangun citra diri demi ambisi politik, ia secara langsung melanggar asas netralitas ini.

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS

Kode etik PNS menekankan integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. PNS harus menghindari konflik kepentingan dan tidak boleh menggunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Pencitraan diri dengan fasilitas negara merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan prinsip ini.

Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Surat Edaran MenPAN-RB

BKN dan Kementerian PAN-RB secara berkala mengeluarkan surat edaran tentang larangan ASN terlibat politik praktis. Edaran tersebut mencakup larangan memberikan dukungan dalam bentuk apa pun kepada calon kepala daerah, termasuk melalui media sosial. Dalam konteks ASN narsistik, membangun personal branding dengan anggaran negara demi kontestasi politik jelas masuk dalam kategori pelanggaran ini.

  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

UU ini mengatur bahwa kepala daerah dan pejabatnya bertanggung jawab atas penggunaan APBD secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Menggunakan APBD untuk promosi individu tanpa relevansi langsung dengan kepentingan publik merupakan bentuk pemborosan dan penyalahgunaan anggaran.

Dampak Sosial dan Institusional

Fenomena ASN narsistik membawa sejumlah konsekuensi serius. Pertama, ia merusak profesionalisme ASN. Ketika jabatan publik dijadikan batu loncatan politik, maka objektivitas dalam pengambilan keputusan akan terdistorsi oleh kepentingan pribadi. Kedua, hal ini menciptakan ketidakadilan bagi ASN lain yang bekerja secara profesional namun tidak mendapat panggung karena tidak bermain politik citra atau dengan kata lainnya sistem atau prinsip meritokrasi  yang menekankan pemberian posisi, penghargaan, atau peluang berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kualifikasi individu yang dewasa ini digaungkan oleh pemerintah bualan semata.

Ketiga, masyarakat menjadi korban manipulasi informasi. Alih-alih menerima informasi jujur dan objektif mengenai kebijakan dan layanan publik, mereka disuguhi narasi pencitraan individu yang membingungkan antara pelayanan publik dan kampanye politik terselubung. Keempat, praktik ini memperburuk budaya birokrasi. ASN yang melihat koleganya sukses “naik panggung” lewat citra pribadi akan terdorong mengikuti jejak yang sama, sehingga membentuk ekosistem birokrasi yang penuh intrik politik, bukan pelayanan berkualitas.

Terakhir atau sebagai penutup ASN narsistik adalah cerminan kegagalan sistemik dalam membedakan antara pelayanan publik dan ambisi politik pribadi. Ketika jabatan publik dijadikan alat untuk membangun panggung elektoral dengan memanfaatkan APBD, maka demokrasi kita sedang digerogoti dari dalam. Sudah saatnya kita bersikap tegas terhadap praktik semacam ini, demi birokrasi yang bersih, netral, dan benar-benar berpihak pada rakyat. Untuk mengatasi fenomena ASN narsistik tidak cukup hanya dengan imbauan moral, tetapi perlu langkah struktural dan penegakan hukum.  Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Penguatan Pengawasan oleh KASN dan Bawaslu

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) perlu meningkatkan pengawasan dan melakukan investigasi terhadap ASN yang diduga membangun citra politik pribadi secara sistematis. Koordinasi dengan Bawaslu juga penting, terutama dalam masa-masa menjelang pemilu.

  1. Audit Komunikasi Publik

Setiap anggaran komunikasi dan publikasi instansi pemerintahan perlu diaudit secara ketat. Tujuannya untuk memastikan bahwa pesan-pesan publik yang disampaikan benar-benar untuk kepentingan pelayanan publik, bukan glorifikasi individu.

  1. Transparansi dan Partisipasi Publik

Masyarakat harus diberdayakan untuk menjadi pengawas anggaran publik. Media, LSM, dan masyarakat sipil perlu berperan aktif dalam memantau aktivitas ASN, termasuk bagaimana mereka menggunakan anggaran publik.

  1. Reformasi Budaya Birokrasi

Perlu penanaman nilai-nilai integritas dan netralitas sejak dini, baik dalam pendidikan ASN maupun pelatihan-pelatihan kepemimpinan birokrasi. Setiap ASN harus menyadari bahwa jabatan adalah amanah, bukan kendaraan politik. (DH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *